Nasional

Relaksasi PSBB: Kurva Epidemi Vs Kurva Laporan Kasus Harian

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Pemerintah RI melalui Gugus Tugas Penanganan Covid-19  berencana melakukan relaksasi atau pelonggaran penerapan Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Sejumlah pihak menilai wacana ini belum saatnya dilakukan pemerintah.

Dalam acara Mata Najwa yang tayang pada Rabu (13/5/2020) malam Ahli Epidemiologi UI Pandu Riono mengatakan ada tiga indikator yang harus dipegang pemerintah jika ingin melonggarkan PSBB.

Indikator kesehatan tersebut adalah indikator epidemiologi, public health dan kesiapan layanan kesehatan.

Indikator epidemiologi, menurut Pandu harus memuat data penurunan kasus konfirmasi positif Covid-19 selama dua minggu, penurunan kasus kematian selama dua minggu, penurunan PDP dan ODP selama dua minggu.

Soal public health Pandu mengatakan, bisa dilihat dari meningkatnya perilaku penduduk untuk memakai masker dan cuci tangan. Kemudian kata Pandu, pemerintah harus menggencarkan contact tracing dan testing diagnostic.

“Testing dan contact tracing harus meningkat tidak boleh menurun. Selama testing tidak bisa diatasi jangan bermimpi untuk melakukan pelonggaran PSBB,” kata Pandu.  

Baca juga  Begini Corona Menulari Melalui Udara

Indikator ketiga, kata Pandu, terkait pelayanan kesehatan. Di dalam indikator ini pemerintah perlu memastikan ketersediaan ruang ICU dan kelengkapan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Ini sebagai upaya jaga-jaga apabila sewaktu-waktu kembali terjadi lonjakan pasien.

Selain, Pandu Riono,tampil dalam acara Mata Najwa tersebut Bupati Bogor Ade Yasin.

Ade Yasin juga menentang wacana pemerintah pusat untuk melonggarkan PSBB.

“Terus terang karena kondisinya masih mengkhawatirkan sebetulnya PSBB sudah relaksasi dari karantina wilayah, artinya kalau sudah PSBB yang saya anggap masih longgar kalau harus direlaksasi lagi bagaimana kita mau menekan virus ini supaya tidak terus menyebar di masyarakat,” tegas Ade Yasin.

Ia menilai relaksasi atau pelonggaran PSBB belum waktunya diterapkan. Apalagi kebijakan memperbolehkan warga usia di bawah 45 tahun beraktivitas kembali di tengah pandemi.

“Kami menilai kasus Corona belum seluruhnya terlihat. Melonggarkan PSBB bisa dilakukan jika puncak pandemi ini telah terlewati. Yakni, ketika jumlah terinfeksi baru semakin menyusut dan jumlah meninggal turun drastis,” kata Ade Yasin.

Kurva laporan kasus harian

Selain masalah evaluasi PSBB, sebelumnya para peneliti dari Eijkman – Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) terdiri dari Iqbal Elyazar, Karina Dian Lestari, Lenny Lia Ekawati, Rosa Nora Lina, mengkritik belum adanya kurva epidemi virus Corona di Indonesia.

Baca juga  Perbandingan Waktu Istirahat dan Cuti dalam UUK Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja

Kurva ini dipakai untuk menggambarkan perjanalan epidemi, menentukan sumber dan waktu penularan, memprediksi puncak dan akhir epidemic, serta mengevaluasi efektivitas kebijakan pengendalian dari pihak berwenang.

Dengan ketiadaan kurva epidemi itu, kata peneliti tersebut, klaim – klaim pemerintah yang menyebut PSBB berhasil menekan kasus Covid-19 meragukan.

Dilansir dari theconversation.com pada 8 Mei 2020, untuk mengendalikan penyebaran COVID di Indonesia, pemerintah perlu melakukan berikut ini:

Pertama, sudah saatnya pemerintah Indonesia mengeluarkan kurva epidemi sesuai standar ilmu epidemiologi untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota. Data tersebut sudah tersedia di rekam medis, sistem informasi fasilitas kesehatan dan laporan pemeriksaan laboratorium. Siap untuk dianalisis.

Kedua, pemerintah perlu secara terbuka dan transparan menyampaikan data jumlah pemeriksaan PCR dan lamanya waktu pemeriksaan untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota untuk menaikkan kepercayaan publik terhadap kurva epidemi yang akan dikeluarkan pemerintah.

Baca juga  11 Juni: Tertular Baru Turun Tipis, 979 Orang, Jatim-Sulsel Terbanyak

Ketiga, pemerintah perlu menggunakan kurva epidemi standar tersebut sebagai salah satu cara menilai pelaksanaan kebijakan pengendalian COVID-19.

Pemerintah Indonesia telah memilih strategi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Larangan Mudik untuk memutus rantai penularan conoravirus.

Pasal 17 Permenkes No 9 Tahun 2020 tentang PSBB telah mensyaratkan butuhnya bukti ilmiah untuk menilai keberhasilan pelaksanaan PSBB dalam menurunkan jumlah kasus baru.

“Kita semua tentu ingin pandemi ini segera berakhir. Kabar baik yang ditunjang dengan alat ukur yang valid, akurat, dan tepercaya, akan memberikan harapan. Hal itulah yang kini mungkin absen di Indonesia,” tulis para peneliti tersebut.[] Hari

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top