Petrus Barus, “Tiga Menggugat Takdir”
Oleh: Imran Hasibuan
(Kawan Petrus Barus)
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Ada masanya aktivisme mahasiswa di kampus Universitas Nasional (UNAS) Jakarta mengalami titik nadir. Masa-masa berkobar sepanjang pertengahan dekade 1980an, meredup menjelang pergantian dekade. Rektor UNAS saat itu, Sutan Takdir Alisyahbana (STA), yang semula sangat mendukung aktivisme/gerakan mahasiswa, tetiba berbalik bersikap membatasi berbagai kegiatan mahasiswa. Bisa jadi, hal ini karena tekanan rezim Orde Baru yang melihat aktivisme UNAS sudah kelewat “panas”, bahkan sudah mengompori aktivisme di kampus-kampus lain.
Demi melawan pembatasan itu, para aktivis yang dimotori Amir Husin Daulay (AHD) merancang aksi “Tiga Menggugat Takdir”, yang inspirasinya tentu dari “Tiga Menguak Takdir”– gerakan/aksi tiga sastrawan (Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani) yang menggugat hegemoni STA di dunia sastra Indonesia. Lantas, siapa yang mau menjadi martir untuk aksi “Tiga Menggugat Takdir” itu? Tiga aktivis mengajukan diri: Nurdin Fadli, Imron Zein Rolas, dan Petrus Barus. Ketiga orang ini termasuk penggerak kebangkitan pers mahasiswa di UNAS, bersama AHD, Trijon Aswin, Lolo Panggabean, dan beberapa kawan lain.
Aksi “Tiga Menggugat Takdir” yang berlangsung sehari penuh itu, tentu saja, dikalahkan dengan mudah. Tuntutan yang dilontarkan tak satupun dipenuhi. Nurdin, Imron Rolas, dan Petrus dipecat sebagai mahasiswa UNAS. Aksi ini juga menandai metamorfosa aktivisme anak-anak UNAS keluar kampus, dengan mendirikan Yayasan Pijar, bersama kawan-kawan dari kampus lain di Jakarta.
Menjelang tengah malam tadi, datang kabar Petrus Barus –salah satu penggugat Takdir itu– meninggaldunia. Bagi saya, ia adalah salah seorang mentor awal dalam dunia jurnalistik. Selamat jalan kawan, damailah di alam keabadian…
Petrus Barus merupakan pemimpin umum BOGOR-KITA.com, wafat di RSUD Ciawi Kabupaten Bogor, Jumat 14 Mei 2021, 21.05 WIB. Almarhum dimakamkan di TPBU Giritama, Desa Tonjong, Kecamatan Tajurhalang, Sabtu 15 Mei 2021. []