Kota Bogor

Jurnalisme Vs Netizenisme

Oleh : Dr. David Rizar Nugroho, SS, MSi

Jurnalis yang Juga Pengajar

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Kehadiran intenet mengubah lansdcap dunia. Konsep Mc Luhan dengan “desa dunia” tanpa batas menemukan faktanya. Kini, dunia tanpa sekat karena informasi yang terjadi di belahan timur dalam sekejap terdesiminasi ke belahan lain melalui internet. Negara negara tertutup beraliran komunisme sibuk menghadang derasnya informasi dengan mencoba mengontrol internet. Saya pun yakin, upaya itu tidak 100 persen berhasil karena selalu ada – meminjam istilah Tempo- “Bocor Alus”. Tahun lalu saya ke Tiongkok, sopir taksi di sana bisa bersosmed ria dengan cara mengunduh aplikasi VPN di playstore dan sejenisnya.

Ya, kehadiran Sosial Media -yang kemudian saya sebut Sosmed” adalah satu hal yang juga mengubah dunia. Diawali kehadiran Friendster, Path, YouTube dan Twittter yang kini ganti nama jadi X, lalu menggurita lewat Facebook, Instagram yang punya anak yakni Thread  dan bom terakhir  TikTok.

Di tahun 2024 pengguna Sosmed di Indonesia sebanyak 139 Juta orang atau setara 49,9 persen total pupulasi nasional dan menempati peringkat 4 dunia. Saya mengenal Friendster tahun 2000 an dan dalam tempo 20 tahunan pengguna Sosmed sudah hampir mencapai separuh populasi Indonesia.

Kehadiran Sosmed membuat ruang publik kita bebas tanpa batas karena pemilik akun bebas menyuarakan apapun. Orang bicara kasar di YouTube tidak ada yang mensensor beda dengan di televisi kalau itu konten jurnalistik patuh pada hukum pers. Jika itu konten broadcast patuh pada UU Penyiaran. Konten jurnalistik ada Dewan Pers yang pasif “mengawasi” sedangkan konten broadcast ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berhak menegur dan menutup program jika dianggap melanggar etika penyiaran?

Baca juga  Polresta Bogor Kota Sita 265 Gram Sabu

Konten Sosmed tidak punya Dewan Sosial Media. Materi konten yang di post menjadi tanggungjawab pribadi pemilik akun. Jika materi konten itu menyinggung individu atau organisasi, yang dirugikan tinggal lapor polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik mengunakan pasal pasal dalam UU ITE.

Di Sosmed, konten adalah “King”. Target konten adalah virality agar sang konten kreator menjadi terkenal di publik. Konten menjadi tidak masuk akal. Saya pernah menonton TikTok live nenek nenek diguyur air oleh seseorang berulang ulang agar mendapatkan saweran netizen.

Melalui tulisan ini saya ingin fokus kepada perilaku netizen yang melakukan reportase bak seorang jurnalis dan memposting laporannya itu ke Sosmed seperti Facebook, Instagram dan YouTube. Dalam dunia jurnalistik disebut Citizen Journalism atau Jurnalisme warga. Apakah yang netizen lakukan ini masuk kategori karya jurnalistik? Karena “kelakuannya” sudah seperti reporter sungguhan.

Tentu yang dilakukan netizen bukan termasuk karya jurnalistik. Karena sesuai UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, produk pers dalam bentuk berita dihasilkan oleh lembaga berbadan hukum. Berbicara berbadan hukum, implementasinya bisa dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) atau CV. Kalau berita yang dibuat individu tidak termasuk kategori pers.

Kedua, pers terikat oleh Kode Etik Jurnalistik, sementara netizen tidak. Berita sebagai hasil dari liputan tidak boleh di produksi individu. Berita hanya bisa diproduksi oleh lembaga yang disebut pers. Syarat berdirinya lembaga yang disebut pers harus berbadan hukum. Misalnya, nama akunnya Liputan Bogor Raya. Terkesan seperti lembaga pers melihat namanya apalagi konten konten nya mereka sebut “berita”. Untuk melihat apakah itu lembaga pers mudah apakah punya badan hukum? Kedua, buka  saja website Dewan Pers dan memilih kanal search. Jika dipanggil nama itu muncul artinya mereka sudah teregister di Dewan Pers, sah jadi media yang terverifikasi.

Baca juga  KAMMI Desak Pemkot Bogor Evaluasi Program Penataan PKL

Sebelum media massa arus utama menggunakan platform sosmed untuk menampilkan karya jurnalistiknya, Sosmed kita dibanjiri informasi yang tidak terverifikasi. Publik bingung oleh postingan postingan netizen seolah itu “berita”. Banyak akun pribadi yang isi konten nya liputan. Kini, netizenisme versus jurnalisme bertarung menghasilkan konten. Netizenisme bebas memposting yang mungkin mereka klaim “berita” karena hasil reportase, Jurnalisme juga hadir dengan informasi yang harusnya lebih kredibel karena ada campur tangan Kode Etik Jurnalistik sebelum di post beritanya di sosial media. Bukan hal yang baru kini beritanya dari portal berita liputan6 SCTV yang kita baca di portal beritanya kini hadir di feeds Instagram.

Kehadiran jurnalisme di sosial media membuat publik punya pembanding ketika menyerap informasi. Dulu ruang publik di sosial media ingat bingar sehingga publik sulit menilai informasi ini benar atau tidak. Kehadiran jurnalisme menjawab hal itu. Walau sering kalah cepat dengan Netizenisme dalam memposting informasi, jurnalisme menawarkan akurasi informasi ke publik.

Saat saya masih jadi junior reporter, saya punya atasan yang disebut redaktur. Kala itu, saya ditarget setiap hari menulis tiga berita. Saat liputan, saya harus memastikan data yang saya peroleh memenuhi unsur 5 W + I H. Tak hanya itu, saya juga harus memastikan akurasi data yang saya peroleh plus ini yang penting mengimplementasikan kode etik jurnalistik soal keberimbangan berita dengan menerapkan prinsip cover both side, atau bahasa publiknya: konfirmasi, sesuatu yang tidak dimiliki oleh Netizenisme.

Baca juga  Diani Budiarto Turun Gunung, Menangkan Atang - Annida di Pilkada 2024

Usai liputan, saya balik ke kantor menulis tiga berita. Kelar menulis tiga berita, tulisan itu saya kirim ke redaktur saya. Boleh pulang beres nulis tiga berita? Tidak!. Saya diminta duduk disamping redaktur saat redaktur membuka file saya. Satu persatu berita dia baca dan edit. Bisa jadi dari tiga berita yang saya setor tiga tiganya tayang, atau tiga tiganya tidak tayang atau satu tayang dua tidak. Yang tidak tayang biasanya isinya tidak menarik dan news value nya rendah  menurut kacamata redaktur.

Berita yang tidak tayang “masuk tong sampah” alias gak bisa disimpan untuk dimuat besok Karena pasti basi. Satu satu berita yang saya tulis dia baca.  Jika ada kalimat yang tidak di pahami dia bertanya ke saya. Jika ada data yang kurang lengkap dan tidak akurat saya diminta melengkapinya dengan mengontak kembali narasumbernya. Tulisan asli saya dipermak sehingga menjadi berita layak tayang dengan mempedomani kode etik jurnalistik. Jika tulisan saya masuk plot berita utama, maka tulisan saya yang sudah dipermak diedit lagi oleh redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi sehingga makin baik kualitas berita yang di tulis. Jurnalisme membutuhkan verfikasi berulang ulang sebelum di post menjadi sebuah karya jurnalistik, sementara Netizenisme bisa langsung posting tanpa melalui meja editing yang panjang.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top