Kota Bogor

Guru Besar IPB University Soroti Urgensi Perubahan Paradigma Perikanan Tangkap

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Guru Besar Tetap dalam Bidang Perikanan Tangkap, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof. Ronny Irawan Wahju, menekankan pentingnya perombakan paradigma dalam pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia.

Ia menilai bahwa pendekatan yang selama ini bersifat eksploitatif sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sumber daya perikanan saat ini.

“Perikanan tangkap harus dilihat sebagai bagian dari ekosistem sosial dan ekologis yang saling terhubung, bukan sekadar kegiatan ekonomi,” ujar Prof. Ronny dalam konferensi pers pra orasi ilmiah, Kamis (12/6/2025).

Ia menyoroti krisis stok ikan di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan akibat tekanan penangkapan berlebih, praktik illegal fishing, dan kerusakan ekosistem. Situasi ini dinilai mengancam ketahanan pangan nasional dan menimbulkan kerugian ekonomi serta ekologis dalam jangka panjang.

Baca juga  Tes Kebugaran Diharapkan Tingkatkan Kinerja ASN

Data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat bahwa 34 persen stok ikan global mengalami overfishing, termasuk di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.

“Diperlukan tata kelola yang tidak hanya berbasis hukum, tetapi juga berbasis ekosistem dan keadilan spasial bagi nelayan kecil,” jelasnya.

Menurut Prof. Ronny, beragam alat penangkapan ikan yang digunakan saat ini berdampak berbeda terhadap lingkungan. Hal ini sejalan dengan prinsip Code of Conduct for Responsible Fisheries serta tujuan Sustainable Development Goals (SDG 14) mengenai konservasi laut.

Ia mengatakan, bahwa inovasi dalam teknologi penangkapan ikan menjadi sangat penting, terutama dalam pengembangan alat tangkap selektif dan perangkat pengurangan tangkapan sampingan (Bycatch Reduction Device/BRD) pada perikanan industri.

Baca juga  Bima Arya ke Baranangsiang Sosialisasi Optimalisasi

Dalam praktiknya, penggunaan alat tangkap push net (sodok) untuk perikanan sidat terbukti memiliki efektivitas tinggi, mencapai 93,4 persen, dengan tingkat tangkapan sampingan rendah hanya 6,6 persen.

“Penggunaan lampu LED pada jaring insang juga mampu menekan tangkapan sampingan spesies yang dilindungi seperti mimi laut, penyu, hingga pari manta hingga 60 persen,” ucapnya.

Ia juga menyoroti ancaman dari fenomena ghost gear atau alat tangkap yang hilang di laut namun masih terus “beroperasi”. Menurutnya, kerugian ekonomi akibat ghost gear di sejumlah wilayah pesisir bisa mencapai miliaran rupiah per tahun.

“Oleh karena itu, perlu implementasi regulasi seperti penandaan alat tangkap (gear marking), inovasi alat tangkap ramah lingkungan, serta penguatan kebijakan mitigasi,” tegasnya.

Baca juga  Pakar Ekowisata IPB University Dorong Kabupaten Bogor Kembangkan Desa Wisata

Ia menilai regulasi seperti Permen KP No. 36 Tahun 2023 yang mengatur zonasi penangkapan berbasis prinsip keberlanjutan merupakan langkah maju. Namun tantangan besar tetap ada pada level implementasi.

“Tanpa pengawasan yang kuat dan partisipasi masyarakat nelayan, regulasi akan sulit menjawab tantangan di lapangan,” ujarnya.

Ia mengajak seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga riset, pelaku usaha, hingga masyarakat pesisir untuk bersinergi demi mewujudkan perikanan tangkap yang produktif, berkeadilan, dan berkelanjutan. [] Ricky

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top