Guru Besar IPB University : Ekohidrologi Dorong Agenda Ekonomi Hijau Indonesia
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Indonesia memiliki ekosistem lahan gambut yang sangat luas, mencapai sekitar 14 juta hektare. Ekosistem ini menyimpan cadangan karbon hingga 50 gigaton, hampir setengah dari total karbon gambut tropis di dunia.
Selain itu, lahan gambut juga berperan penting dalam menjaga keanekaragaman hayati, mengatur siklus dan kualitas air, serta menopang penghidupan masyarakat lokal.
Namun demikian, ekosistem gambut sangat rentan terhadap kekeringan akibat penurunan tinggi muka air tanah (TMAT). Transformasi lahan gambut secara masif sejak tahun 1990-an menjadi perkebunan dan hutan industri menyebabkan kerusakan ekosistem yang berujung pada kebakaran lahan berulang setiap tahun.
Menurut Guru Besar IPB University, Prof. Muh Taufik, pendekatan berbasis ilmiah sangat diperlukan agar fungsi hidrologi dan ekologi gambut tetap terjaga. Salah satu pendekatan yang dinilai solutif adalah ekohidrologi, yaitu pendekatan interdisipliner yang mengedepankan keseimbangan antara regulasi alami dan aktivitas manusia.
“Implementasi ekohidrologi pada lahan gambut dapat dilakukan melalui pengelolaan tinggi muka air tanah yang memengaruhi interaksi vegetasi dan hidrologi, serta berdampak langsung pada emisi karbon,” jelas Prof. Taufik saat konferwnsi pers pra orasi ilmiah pada Kamis (23/10/2025).
Ia mengungkapkan, terdapat tiga proses penting ekohidrologi pada lahan gambut. Pertama, pengaruh tutupan vegetasi terhadap kekeringan hidrologi. Transformasi lahan gambut menjadi perkebunan dan hutan industri menyebabkan gangguan siklus hidrologi dan meningkatkan risiko kekeringan.
“Riset kami menunjukkan amplifikasi kekeringan meningkat hingga empat kali lipat dibandingkan kondisi hutan alami,” ungkapnya.
Kedua, lanjut Prof Taufik faktor hidrologi sebagai penentu kebakaran gambut. TMAT merupakan indikator kunci kondisi lahan gambut secara hidrologis. Selama ini, model kekeringan dan kebakaran belum sepenuhnya mengintegrasikan TMAT dalam struktur pemodelannya.
“Penelitian kami menjadi pionir dalam mengintegrasikan TMAT sebagai variabel hidrologi penting untuk menentukan tingkat kekeringan dan potensi kebakaran gambut,” jelasnya.
Dari riset tersebut, tim IPB University mengembangkan model Peat Fire Vulnerable Index (PFVI) untuk mendeteksi potensi kebakaran gambut. Model ini menggunakan tiga variabel hidrometeorologi, yaitu curah hujan, suhu udara, dan TMAT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TMAT 40 cm merupakan ambang batas kritis kekeringan, dan kebakaran baru terjadi jika TMAT melebihi 60 cm.
Model ini kemudian dikembangkan secara spasial dengan integrasi ke sistem Weather and Research Forecasting (WRF), yang memungkinkan prediksi hingga 14 hari ke depan.
“Informasi ini sangat bermanfaat untuk sistem deteksi dini kebakaran, sehingga manajemen risiko dapat dilakukan lebih efektif,” katanya.
Kemudian, ketiga, hubungan antara hidrologi dan emisi karbon dalam konteks ekonomi hijau. Pendekatan ekohidrologi kini dapat diimplementasikan melalui platform daring bernama RAMIN (R-based Assessment for Modeling Indonesian Nature). Platform ini mengintegrasikan pemodelan hidrologi, perhitungan emisi karbon, serta valuasi carbon credit dari praktik pengelolaan lahan gambut.
Kelebihan RAMIN adalah penggunaannya yang berbasis pengetahuan lokal, real-time, transparan, dan ilmiah.
“Melalui pengaturan TMAT dengan pendekatan ekohidrologi, kita bisa mengurangi dampak negatif pembangunan kanal drainase, serta menyinergikan kepentingan ekologi, lingkungan, dan ekonomi,” tuturnya.
Ia menambahkan, pendekatan ekohidrologi diharapkan mampu menjadi metode aplikatif dalam mendukung kebijakan lingkungan rendah emisi dan agenda ekonomi hijau Indonesia.
“Dengan menjaga kelestarian gambut, kita tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru melalui perdagangan carbon credit. Yang perlu kita siapkan adalah infrastruktur perdagangan karbon yang transparan, kredibel, dan berbasis riset ilmiah,” pungkasnya. [] Ricky
