Dr Suwarto Ungkap Strategi Pengembangan Umbi-Umbian Sebagai Solusi Krisis Pangan
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Umbi-umbian dinilai dapat menjadi solusi krisis pangan dunia. Selain menjadi sumber karbohidrat, kandungan gizinya juga sangat baik untuk kesehatan. Namun, Dr Suwarto, Dosen IPB University dari Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian mengatakan, terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan. Terutama dalam pengembangan teknologi budidaya untuk meningkatkan produksi umbi sebagai pangan utama.
“Demografi dan pola konsumsi masyarakat semakin berubah. Terlebih demografi Indonesia didominasi oleh generasi milenial. Pola konsumsi yang berubah ini bisa kita andalkan dari umbi-umbian,” katanya dalam Webinar Propaktani dengan tajuk “Umbi-Umbian Solusi Atasi Krisis Pangan” oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian RI, Selasa (29/11/2022).
Menurutnya, umbi-umbian sebagai kuliner yang diviralkan dapat menjadi pilihan menarik bagi generasi milenial. Strategi ini akan mengubah pola konsumsi dan membuka peluang besar umbi sebagai produk pangan utama.
Ubi kayu hingga ubi jalar, ia menuturkan, masih menjadi umbi pangan utama karena mendapat perhatian dari pemerintah. Pengembangan ubi kayu di wilayah Indonesia sangat potensial. “Ubi jenis ini sangat diuntungkan oleh kondisi iklim tropis Indonesia sehingga mudah dibudidayakan di dataran rendah maupun tinggi,” katanya.
Bahkan, lanjutnya, ubi kayu tersebar di hampir semua provinsi Indonesia. Artinya, distribusi ubi kayu sebagai sumber pangan utama terbilang mudah karena dapat ditemukan dimanapun. Berbeda dengan ubi kayu, ia menjelaskan bahwa ubi jalar lebih menyukai dataran tinggi yang bersuhu relatif dingin. Sementara itu, umbi lainnya seperti talas, ganyong, gembili memiliki lingkungan tumbuh yang beragam, dari lahan masam hingga kering. Walau data sebarannya belum tersedia, namun keberadaannya tetap potensial sebagai sumber pangan.
“Aspek keterjangkauan oleh konsumen sangat penting sekali dalam pengembangan umbi, terutama dari sisi keterjangkauan barang dan harga. Umbi kerap tidak menjadi pilihan utama karena terkadang harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan sumber karbohidrat lain. Hal ini yang menyebabkan keterjangkauan konsumen menjadi penting,” terangnya.
Menurutnya, aspek peningkatan produksi umbi di sisi hulu masih memerlukan perbaikan. Produktivitas tinggi tidak hanya dari segi produksi segar, namun kualitasnya juga harus terjaga.
Ia merekomendasikan, standar minimal kadar pati dalam ubi kayu sebaiknya 30 persen agar industri tepung tapioka bisa lebih berkembang dan bergairah. Kualitas umbi juga perlu diseleksi. Bobot umbi yang terbilang baik sekitar empat kilogram per pohon dan ukurannya besar demi kemudahan panen.
“Legume cover crop (LCC) juga bisa dimanfaatkan untuk ditanam bersamaan dengan ubi kayu agar meningkatkan bahan organik bagi pertumbuhan umbi. Selain itu bisa dengan metode rapid multiplication technique maupun pupuk kalium untuk mengembalikan nitrogen dalam tanah sehingga produktivitasnya meningkat. (MW/Zul)