Dosen IPB Sebut Indonesia Harus Punya Prospek Tuna Terbaik
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Dr Lucky Adrianto, dosen IPB University dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan menyinggung indikator sosial ekonomi perikanan tuna neritik di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 Provinsi Jawa Barat. Ia menilai, bahwa status sosial tuna neritik di Jawa Barat khususnya di WPP 573 harus diperbaiki.
Ia menjelaskan pokok pemikiran 4R dalam perikanan tuna. Konsep 4R dalam perikanan tuna memiliki empat dimensi yakni produser, prosesor, konsumen, pemilik sumber daya tuna. Indonesia harus memiliki prospek tuna terbaik dan harus bisa menguasai keempatnya.
Berdasarkan perspektif dinamika, katanya, Provinsi Jawa Barat di WPP 573 dinilai lebih menjanjikan dibanding WPP 712. Sementara itu,dari sisi dimensi biodiversita, jumlah tangkapan di WPP 573 lebih banyak daripada 712.
“Oleh karena itu, WPP 573 sebagai fokus dalam monitoring tuna di Provinsi Jawa Barat, saya pikir bisa diterima secara nasional,” kata Dr Lucky dalam Webinar Pengembangan Sistem Monitoring dan Evaluasi Sosial Ekonomi Perikanan Tuna oleh Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP), 15/12.
Ia menyebut, hasil tangkapan neritik tuna banyak didaratkan di Pelabuhan Ratu. Terdapat lima jenis tuna hasil tangkapan dengan payang dan gillnet. Jenis tuna tersebut antara lain adalah tenggiri, tongkol krai, tongkol abu-abu, tongkol komo, dan tongkol lisong.
“Tingkat risiko kerentanan ekologi dan ekonomi tuna neritik di perairan pelabuhan ratu masih rendah karena nilai kerentanannya di bawah 1,8. Ini menunjukkan bahwa masa depan perikanan tuna di 573 khususnya di sekitar kawasan pelabuhan ratu relatif tinggi,” jelasnya.
Sementara itu, status sosial ekonomi neritik tuna masih ada konflik yang dipicu dinamika alat penangkapan. Namun demikian, konflik dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan status ekonomi ternyata memiliki dukungan yang bagus. Hal ini karena kepemilikan aset dari tuna neritik naik 50 persen dalam lima tahun terakhir. Tidak hanya itu, pendapatan rumah tangga dalam perspektif lebih tinggi dari UMR juga dinilai cukup baik. Namun, perilaku nelayan skala kecil dalam hal saving ratio masih rendah, tetapi tidak spesifik untuk tuna.
Dari aspek kelembagaan, pengelolaan perikanan tuna masih bervariasi dan tergolong rendah. Dalam konteks formalisasi dan aturan di bawahnya masih belum terlalu baik.
“Status sosial tuna neritik di Jawa Barat khususnya WPP 573 dapat diartikan bahwa relatif masih harus diperbaiki, secara ekonomi relatif baik, secara kelembagaan juga perlu diperbaiki,” tambahnya.
Dosen IPB University itu mengusulkan, untuk melakukan monitoring sosial ekonomi di kawasan WPP 573. Monitoring dilakukan dengan menggunakan indikator sosial ekonomi sebagai basis monitoring tuna daripada basis ekologi. Monitoring dengan indikator sosial ekonomi pada 2022-2024 harus didorong.
Dr Lucky menerangkan, terdapat tiga level indikator berdasarkan sosial ekonomi yakni indikator level negara, indikator level komunitas,dan indikator level operasi bisnis. Ia mencontohkan, di level negara peran penting neritik tuna dalam konteks Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) mesti didukung bukan hanya berdasarkan riwayat penangkapan. Hal ini dapat menjadi salah satu input dalam negosiasi RFMOs. [] Hari