Kab. Bogor

Dilema Etik Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Dunia Profesional

BOGOR- Tahun 2024 merupakan era dimana teknologi bertumbuh pesat, salah satunya Artificial Intelligent atau kecerdasan buatan yang kerap disapa AI.

Dalam dunia profesional, AI dapat digunakan untuk membantu pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya dengan lebih mudah dan praktis. AI mempermudah banyak hal hingga memasuki lini kehidupan sehari-hari.

Akan tetapi, perkembangan teknologi yang pesat ini ternyata menuai pro dan kontra yang cukup signifikan bagi sebagian orang khususnya pelaku desain.

Teknologi AI dianggap akan mengubah tatanan kerja ekosistem desain grafis. Pelaku desain yang semula mempertahankan nilai seninya dengan tangan dan kreativitas mereka sendiri, saat ini memiliki lebih banyak alternatif teknologi untuk mempermudah proses pembuatan karyanya. Namun, hal ini ternyata menimbulkan beberapa opini yang berbeda bagi pelaku desain.

Praktik penggunaan AI dalam karya visual grafis memunculkan pertanyaan etika yang mendalam, terutama terkait implikasi social humanioranya.

Fenomena ini menciptakan paradoks, ketika teknologi yang mempermudah proses desain justru menimbulkan dampak tidak terduga terhadap nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan itu sendiri memberi arti apakah AI ini akan dapat menggantikan manusia secara utuh.

Apabila melihat dari sisi hukum dalam penggunaannya di Indonesia, Pendaftaran hak cipta desain Generative AI pun tidak bisa dilakukan karena tidak sesuai dengan pengertian penciptaan desain dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Contoh kasusnya adalah penolakan hak cipta untuk lukisan “A Previous Entrance to Paradise” yang diciptakan AI Creativity Machine di Amerika Serikat pada 2016.

Dalam upaya mencegah perkembangan teknologi baru yang mungkin dapat berdampak negatif ini, mahasiswa Institut Pertanian Bogor melakukan riset untuk meneliti bagaimana persepsi pelaku desain dan pengamat desain dalam hal penggunaan AI.

Baca juga  Orang Tua Sambut Antusias Permainan Matematika Kepolisian

Mahasiswa IPB yang tergabung dalam tim PKM yaitu Dewa Fahtiar Fisabila (ARL 58), Puji Luthfiani (ARL 59), M. Zidhan (IE 58), Rayhan Abrar (Manajemen), Abror Muti’u Amrillah (Kedokteran Hewan 60). dengan penelitian yang berjudul “Artificial Intelligence Generative Design dan Dampaknya pada Pelaku dan Pengamat Desain untuk Rekonstruksi Etika Penciptaan Karya Visual Grafis,” akan menggali dampak penggunaan AI generatif dalam desain grafis dan bagaimana hal ini mempengaruhi para pelaku dan pengamat desain.

Penelitian ini mengeksplorasi tantangan seperti kehilangan sentuhan manusia, bias, transparansi, dan tanggung jawab terhadap karya yang dihasilkan oleh AI dapat diterapkan masyarakat.

Focus Group Discussion oleh Mahasiswa Arsitektur Lanskap Mengenai Etika Penggunaan AI

Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa IPB ini mendapat kesimpulan bahwa pelaku desain yang profesional di bidangnya sepakat bahwa penggunaan AI ini harus dibatasi dan hanya menjadi alat bantu memperluas wawasan kreativitas desainer, tidak semata-mata menjadi alat instan dalam membuat suatu karya.

Sebab, penggunaan AI dalam konteks karya visual grafis akan menghilangkan nilai seni maupun sense of humanity karya itu sendiri.

Lebih lanjut, meskipun AI dapat meningkatkan efisiensi dan menawarkan berbagai solusi inovatif, tetap diperlukan sentuhan manusia dalam proses kreatif agar karya yang dihasilkan memiliki jiwa dan karakter yang khas.

Mereka juga menyoroti pentingnya pengalaman dan pengetahuan mendalam yang dimiliki desainer manusia, yang tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh kecerdasan buatan. Hal ini mencakup kemampuan untuk menangkap emosi, budaya, dan konteks sosial yang seringkali menjadi elemen penting dalam karya visual.

Baca juga  Summer Course FPIK IPB University Diikuti 145 Peserta dari Berbagai Negara di Asia Pasifik

Oleh karena itu, integrasi AI dalam proses desain seharusnya dilakukan dengan bijak, dimana AI berperan sebagai asisten yang memperkaya ide-ide kreatif, bukan sebagai pengganti utama peran desainer.

Penelitian ini juga menganalisis persepsi pengamat desain dalam lingkup masyarakat umum untuk melihat apakah karya hasil AI lebih menarik dibandingkan karya buatan konvensional.

Didapatkan kesimpulan bahwa urutan karya teratas yang dipilih masyarakat umum adalah karya hasil buatan AI. Hal ini menunjukkan bahwa semakin hebatnya kecanggihan AI dalam menggantikan profesi desainer. Meskipun begitu, beberapa pengamat desain juga mengungkapkan bahwa keunggulan AI terletak pada kemampuannya menghasilkan desain yang secara estetika memenuhi selera umum dengan cepat.

Namun, mereka juga menyoroti bahwa karya buatan konvensional memiliki kedalaman artistik dan sentuhan personal yang unik, yang sulit ditiru oleh AI.

Selain itu, karya konvensional sering kali memuat narasi dan interpretasi budaya yang kaya, yang lahir dari proses kreatif yang panjang dan pengalaman desainer.

Dengan demikian, meskipun AI menunjukkan potensi besar dalam bidang desain, tetap ada ruang penting bagi karya konvensional yang menawarkan nilai-nilai artistik yang mendalam dan personal. Kombinasi antara kecerdasan buatan dan sentuhan manusia mungkin menjadi solusi ideal, dimana AI dapat membantu mempercepat proses teknis, sementara desainer manusia tetap berperan dalam menciptakan elemen-elemen artistik yang unik dan bermakna.

Baca juga  Menristekdikti Resmikan Laboratorium Anechoic Chamber di Pusteksat Rancabungur

Hasil Karya Buatan AI Menggunakan PromeAi

Kepala Departemen Arsitektur Lanskap IPB University, Dr. Akhmad Arifin Hadi, SP. MALA. turut memberi tanggapan mengenai perkembangan AI dalam dunia desain grafis

Kepala Departemen Arsitektur Lanskap IPB University, Dr. Akhmad Arifin Hadi, SP. MALA. Memberikan Opininya Terkait Etika AI dalam acara FGD Bersama Mahasiswa IPB

“AI memang mempermudah pekerjaan manusia, dalam lingkup pendidikan di perguruan tinggi pun, mahasiswa juga harus memahami etika dalam penggunaan AI ini supaya teknologi dapat digunakan dengan bijak dan tidak merusak sisi kemanusiaan” ujarnya.

Pada akhirnya, AI atau yang biasa disebut kecerdasan buatan hanyalah sebuah alat yang dapat membantu pekerjaan manusia, bukan sebuah alat yang sempurna mampu menggantikan peran manusia. Maka dari itu, di era digital ini, masyarakat harus mampu melek teknologi supaya dapat menggunakan teknologi dengan bijak tanpa merugikan orang lain.

Penting untuk mencermati hal ini dengan mengutamakan aspek etika, kesadaran terhadap dampak sosial, dan pengembangan AI untuk mencegah dampak negatif dan meningkatkan manfaatnya.

Peran pemerintah sebagai pengatur kebijakan sudah selayaknya dapat fokus pada perkembangan teknologi khususnya AI ini karena dampak yang diberikan akan sangat masif dan berpotensi menjadi pedang bermata dua.

Regulasi dan kebijakan ketat terkait penggunaan AI dalam dunia professional perlu diperjelas sehingga terdapat acuan penggunaan dan berdampak positif melindungi sebagian profesi yang terindikasi digantikan oleh kecerdasan buatan ini.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top