BOGOR-KITA.com, BOGOR – Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan (FE Unpak) Bogor Dr Hendro Sasongko mengapresiasi Presiden Jokowi yang menginstruksikan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk membuat pedoman dan memberikan panduan agar program padat karya tunai dengan memanfaatkan skema dana desa tersebut dapat terlaksana secara masif dan tepat sasaran dalam rangka memerangi wabah corona atau Covid-19.
“Ini harus diberikan prioritas pada keluarga-keluarga miskin, pengangguran, atau yang setengah menganggur. Kalau bisa memang upah kerja itu diberikan setiap hari. Tapi kalau tidak bisa ya satu minggu,” kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (7/4/2020),,
“Laporan yang saya terima di akhir Maret 2020, dana desa yang tersalur baru 32 persen yaitu hanya pada posisi angka Rp9,3 triliun dari pagu tahap yang pertama sebesar Rp28 triliun. Artinya kalau dari total Rp72 triliun, itu baru 13 persen. Masih kecil sekali,” imbuh Presiden Jokowi.
Bagaimana skema pemanfaatan dana desa yang ideal untuk memerangi Covid-19?
Berikut penuturan Dr Hendro Sasongko yang disampaikan kepada BOGOR-KITA.com, Rabu (8/4/2020).
Sebenarnya skema Dana Desa untuk tahun 2020 sudah diatur dalam Permendesa PDTT nomor 11/2019, dan bahkan mekanisme penyaluran dananya juga tidak lagi melalui pemerintah daerah, namun langsung ke masing-masing rekening desa.
Yang membuat skema dana desa tahun 2020 ini berbeda adalah prioritas program padat karya tunai sebagai bagian dari program penanganan wabah covid-19.
Sebagaimana diatur dalam Permendesa PDTT tersebut, cukup banyak daftar aktivitas yang menjadi obyek penyaluran dana desa, baik fisik maupun non-fisik. Namun jelas bahwa program padat karya tunai itu untuk aktivitas, khususnya infrastruktur, karena memang tujuannya adalah memberi dana secara cepat kepada masyarakat dalam rangka menjaga daya beli, pada saat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang tampaknya akan segera dilaksanakan oleh banyak daerah untuk menekan meluasnya wabah covid-19.
Sebagai dampaknya, ruang gerak masyarakat menjadi terbatas, dan golongan yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat kalangan bawah yang pola penghasilannya tidak menentu, sangat terkait dengan mobilitas atau pergerakan fisik.
Saya setuju, pada kondisi ini, tidak ada prioritas utama selain keselamatan jiwa masyarakat, sehingga masalah ekonomi, untuk sementara, dipinggirkan dahulu. Kita tahu, Pemerintah Pusat telah beekomitmen menyiapkan dana sekitar Rp 405 triliun untuk menghadapi wabah ini, dan sebagian di antaranya adalah dalam bentuk pengamanan jaringan sosial.
Karena skema dana desa sudah tersusun cukup tertib, dengan harapan bisa segera disalurkan ke masyarakat, maka wajar bila presiden memanfaatkan dana desa ini sebagai media penyaluran dana karena, (1) sudah tersedia skema penyaluran yang memiliki dasar hukum yang kuat, (2) penyaluran dananya relatif cepat karena langsung ke rekening desa, dan (3) diharapkan penggunaannya lebih terukur, produktif dan efektif, karena terkandung ada timbal balik jasa, yaitu masyarakat penerima, juga memberi jasa membangun desa yang diharapkan bersifat produktif.
Dalam konteks ekonomi pembangunan, jelas ini diharapkan memberi kontribusi terhadap upaya agar tidak terjadi kontraksi pembangunan ekonomi yang terlalu dalam. Memang anggaran dana desa sekitar Rp 72 trilyun untuk tahun 2020, belum memadai untuk mampu mengantisipasi wabah corvid-19 ini, namun komitmen pemerintah pusat mengenai skema dana desa ini layak diapresiasi.
Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana mengawal penyaluran dana tersebut agar tepat sasaran? First-line defense-nya, tentunya adalah perangkat regulasi dan standar prosedur yang sudah disiapkan.
Adanya transfer langsung ke rekening desa, sudah memotong jalur birokrasi. Setahu saya, ada 5 stakeholder utama dalam mekanisme pelaksanaannya, yaitu Kemendagri, Kemenkeu, KemenDes PDTT, Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati dan Camat), dan Perangkat Desa sebagai operator lapangan.
Dengan demikian, titik berat monitoring, evaluasi, pengawasan dan bahkan audit, harus ditujukan kepada para pemangku kepentingan tersebut sesuai dengan kapasitas kewenangannya.
Harap dipahami, bahwa saat ini adalah situasi darurat, jadi kunci utamanya adalah speed (k/ecepatan) bertindak, sehingga perlu koordinasi yang baik di antara para aktor tersebut. Pada titik inilah perlunya pihak/pejabat yang langsung ditunjuk oleh presiden untuk koordinasi tersebut, karena kita maklumi, bahwa penyakit kronis yang melanda birokrasi kita adalah koordinasi dan egosentris.
Secara teknis, tentu masih dibutuhkan banyak perangkat prosedur lain, antara lain, bagaimana sistem dan jadwal penyaluran dana, apakah ada peran lembaga lembaga lain seperti Bulog, Koperasi, BUMDes, Lembaga Keuangan dan bahkan pelaku usaha yang terkait dengan pola konsumsi masyarakat yang telah menerima dana.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah penegakan hukum yang konsisten, pemilihan proyek padat karya yang dipandang memberi nilai tambah, serta sosialisasi dan pengarahan kepada maayarakat yang menjadi subyek penerima dana padat karya.
Harus disadari, masih terbuka kemungkinan timbulnya penyalahgunaan dana oleh oknum oknum tertentu, bahkan dalam kondisi bencana saat ini. Tugas pengawasan tidak saja oleh aparat pengawasan dan aparat penegak hukum, tapi juga dapat dilakukan oleh masyakarat desa sendiri. Di sinilah perlunya saluran komunikasi dan pelaporan yang efektif, bahkan sampai di tingkat masyarakat. Demikian pula perlunya kesadaran masyarakat mengenai skema pemanfaatan dana agar tepat sasaran.
Sebagai tambahan, perlu juga dipahami, bahwa skema dana desa itu terutama terkait dengan sistem anggaran pemerintah pusat, padahal pemerintah daerah juga memiliki peran signifikan dalam penanganan dampak wabah corvid-19 ini, artinya perlu ada juga realokasi APBD untuk penanganan wabah tersebut, dan alhamdulillah, sudah ada komitmen dari banyak pemerintah daerah. [] Hari