Pendidikan

Ada Rindu yang Belum Sempat Pulang

Sumber: Canva – Andrey X; Getty Images/Alvi Sulistianingsih; Pexels/Bangunfili

Oleh: Louisa Sagita Utari Sawitri
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

Pertengahan tahun 2018 adalah terakhir kalinya saya melakukan perjalanan wisata ke Solo, Jogja, dan Semarang bersama keluarga besar. Waktu berlalu begitu cepat, dan tujuh tahun kemudian, kenangan itu masih melekat kuat di ingatan saya. Rindu yang tertahan masih belum terobati, karena hingga kini saya belum sempat kembali ke tiga kota yang penuh cerita ini. Namun, kenangan perjalanan ini tetap menjadi salah satu momen terbaik dalam hidup saya.

Perjalanan dimulai dengan mobil keluarga yang membawa kami dari Jakarta menuju Solo. Sepanjang perjalanan, canda tawa mengisi mobil, menciptakan suasana yang hangat. Setelah menempuh perjalanan panjang, kami menginap di Sala View Hotel, yang menawarkan kenyamanan di tengah hiruk-pikuk kota. Malam pertama di Solo, kami jalan-jalan ke Alun-Alun Solo yang begitu ramai dengan wisatawan dan warga lokal. Di sana, saya mencoba beberapa kuliner khas seperti tengkleng kambing yang kaya rempah, selat solo yang segar dan menggugah selera, serta serabi Notosuman yang lembut dan manis. Menikmati makanan-makanan ini sambil duduk di alun-alun, melihat lampion-lampion yang diterbangkan ke langit malam, memberikan sensasi damai yang sulit ditemukan di kota besar. Sambil menyantap makanan, saya juga menikmati pemandangan becak-becak yang berlalu-lalang membawa wisatawan berkeliling kota.

Keesokan harinya, perjalanan berlanjut ke Jogja. Kami menginap di sebuah hotel dekat Candi Borobudur, Hotel Manohara, yang memudahkan akses ke situs sejarah tersebut. Pagi hari menjelang siang, saya dan keluarga menaiki anak tangga Candi Borobudur hingga ke puncaknya. Langit cerah dan udara yang mulai memanas tidak menyurutkan semangat kami untuk menikmati pemandangan dari atas candi, ditemani kerumunan wisatawan lainnya yang juga tak ingin melewatkan momen ini. Beberapa fotografer lokal menawarkan jasa pemotretan dengan teknik pencahayaan yang sempurna untuk menangkap keindahan candi di bawah sinar matahari. Dari puncak candi, saya bisa melihat panorama alam yang begitu menakjubkan, perbukitan hijau di kejauhan, pepohonan yang membentang luas, serta suasana yang begitu sakral di tempat ini. Setelah puas berfoto dan mengagumi relief candi yang sarat makna, kami turun dengan rasa puas dan kagum pada kemegahan peninggalan sejarah ini.

Baca juga  Penerimaan Pajak Hotel Menurun, Kewajiban Pemerintah Datangkan Wisatawan Asing

Hari berikutnya, perjalanan membawa kami ke Hutan Pinus Mangunan. Udara segar langsung menyapa begitu kami tiba. Pepohonan pinus menjulang tinggi menciptakan suasana yang begitu asri dan menenangkan. Saya berjalan perlahan di antara pepohonan, menikmati momen yang sulit ditemukan di tengah kehidupan perkotaan. Banyak wisatawan yang sibuk berfoto di berbagai spot menarik, termasuk di gardu pandang yang menawarkan pemandangan hijau nan luas. Dari atas gardu pandang, saya bisa melihat hamparan bukit yang hijau dan berlapis kabut tipis, menciptakan pemandangan yang seolah berasal dari negeri dongeng. Tak lupa, saya mengabadikan beberapa foto dengan latar belakang hutan hijau yang memesona. Menjelang sore, kami menuju Pantai Parangtritis. Ombak berkejaran di kejauhan, sementara angin laut berhembus lembut di wajah saya. Berdiri di tepi pantai, saya membiarkan kaki terendam air laut yang hangat, menikmati momen saat matahari perlahan tenggelam di cakrawala, menciptakan warna keemasan yang begitu indah. Rasanya seperti menyatu dengan alam, membiarkan diri tenggelam dalam ketenangan yang sulit dijelaskan. Beberapa orang terlihat menaiki delman yang melaju pelan di sepanjang bibir pantai, sementara yang lain sibuk bermain pasir atau berfoto dengan latar belakang ombak yang bergulung-gulung.

Baca juga  Usmar Apresiasi Lomba Lintas Komunitas Enjoy Bogor

Masih dalam rangkaian perjalanan ini, petualangan penuh tantangan menanti di Goa Pindul dan Sungai Oyo. Bersama KedungGupit Adventure, kami melakukan cave tubing, menyusuri aliran sungai di dalam gua dengan ban pelampung. Begitu masuk ke dalam gua, saya disambut oleh pemandangan stalaktit dan stalagmit yang terbentuk selama ribuan tahun. Cahaya yang masuk dari celah di atas gua menciptakan suasana mistis yang luar biasa. Instruktur memberi tahu bahwa beberapa stalaktit di sini termasuk yang terbesar di Asia. Air yang jernih mengalir perlahan, menciptakan suasana yang begitu tenang, namun di saat yang bersamaan, rasa petualangan begitu terasa. Setelah puas menikmati Goa Pindul, kami melanjutkan perjalanan ke Sungai Oyo untuk rafting. Arus sungai yang cukup deras membuat adrenalin terpacu, namun justru itulah keseruannya. Beberapa kali kami harus berpegangan erat pada ban agar tidak terbawa arus terlalu jauh. Tebing kapur yang mengapit sungai menjadi latar belakang yang menakjubkan sepanjang perjalanan ini. Matahari yang terik menambah tantangan tersendiri, tetapi keseruan bersama keluarga mengalahkan semua rasa lelah. Beberapa wisatawan lain tampak berani melompat dari tebing ke sungai, menambah keseruan petualangan ini.

Malamnya, perjalanan dilanjutkan ke Malioboro. Keramaian khas jalan legendaris ini langsung terasa begitu kami tiba. Pedagang kaki lima menawarkan berbagai suvenir khas, dari batik hingga pernak-pernik unik. Aroma sate dan wedang ronde menguar di udara, menggoda untuk mencicipinya. Saya berjalan menyusuri trotoar, sesekali berhenti untuk melihat-lihat barang dagangan atau sekadar menikmati suasana malam yang penuh kehidupan. Para pengamen jalanan memainkan musik khas Jawa, menambah nuansa magis yang membuat Malioboro terasa begitu hidup. Sebagai penutup, kami makan malam di Gudeg Yu Djum. Paduan gudeg manis, sambal krecek pedas, dan ayam kampung yang empuk membuat santapan ini semakin sempurna. Setiap suapan membawa kenangan lama, mengingatkan saya akan kehangatan Jogja yang tak pernah berubah. Tidak hanya makan malam, kami juga membeli bakpia pathok sebagai oleh-oleh, jajanan khas Jogja yang selalu menjadi favorit keluarga.

Baca juga  Melirik Kemajuan Teknologi China

Akhirnya, tibalah hari terakhir perjalanan ini. Sebelum pulang, kami singgah di Semarang untuk membeli oleh-oleh khas. Lumpia Semarang menjadi pilihan utama, dengan isian rebung, udang, dan ayam yang berpadu sempurna dalam balutan kulit lumpia yang renyah. Tak hanya lumpia, saya juga membawa pulang bandeng presto dan wingko babat, dua kuliner khas Semarang yang selalu menjadi favorit keluarga. Sebelum kembali ke mobil, saya menyempatkan diri menikmati suasana Kota Lama Semarang. Bangunan-bangunan bersejarah yang masih terawat menghadirkan suasana Eropa klasik di tengah kota modern. Duduk di salah satu kafe yang berjejer di sana, saya membiarkan diri sejenak larut dalam nostalgia, mengenang setiap sudut kota yang saya kunjungi selama perjalanan ini.

Tujuh tahun berlalu sejak perjalanan ini, dan hingga kini saya belum sempat kembali ke Jogja, Solo, dan Semarang. Namun, kerinduan untuk kembali semakin besar. Saya ingin mengulang momen berharga ini, menapaki kembali jejak perjalanan yang pernah saya lalui, dan menemukan keindahan baru di tiga kota yang selalu memberikan cerita istimewa. Entah kapan, tetapi saya tahu pasti bahwa suatu hari nanti, saya akan kembali untuk melepas rindu yang terus tumbuh dalam hati.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top