Siasat Queer Bogor Bertahan di Tengah Konservatisme Agama
Komunitas Queer di Bogor Kesulitan Mencari Rumah Kontrakan karena Kebencian terhadap LGBTIQ
Dalam keheningan malam Kota Bogor yang diguyur hujan, Mahen duduk di kafe. Queer berumur 37 tahun itu sedang memikirkan ibundanya yang sakit. Sesekali dia mengecek ponsel untuk melihat pesan ibundanya karena khawatir. Selama hampir dua jam, Mahen mengisahkan serangkaian perisakan hingga sulitnya mendapatkan rumah kontrakan untuk komunitasnya. Mahen meminta namanya disamarkan atas pertimbangan keselamatan.
Sebagian anggota keluarga Mahen berasal dari Provinsi Banten yang kental dengan konservatisme agama. Mahen lahir dan tumbuh dalam keluarga berlatar pesantren. Lahir di Bogor, orang tuanya mendidik Mahen sebagai laki-laki yang taat beragama Islam. Sejak bocah, Mahen wajib belajar pencak silat. “Dipaksa harus jadi laki-laki yang maskulin,” kata dia kepada Bogor Kita, Kamis, 16 Oktober 2025.
Suatu hari, pada umur 20 tahun, Mahen jatuh cinta kepada seorang laki-laki. Perasaan itu membuatnya merasa berdosa dan layak menghuni neraka. Mahen merahasiakan identitasnya sebagai queer dari anggota keluarga terdekat karena takut mendapat penolakan. Kakaknya pernah mengancam Mahen untuk menikahi seorang perempuan.
Lambat laun anak kelima dari tujuh bersaudara itu bisa menerima identitasnya. Mahen punya keyakinan bahwa Tuhan adil dan menyayangi setiap manusia tanpa melihat identitas gender.
Penerimaan diri itu mendapat dukungan dari komunitas ragam gender dan seksualitas di Bogor. Selama sepuluh tahun, Mahen aktif berhimpun di sebuah komunitas untuk mendampingi kelompok minoritas gender dan seksual yang kerap menghadapi stigma.
Komunitas itu menjadi wadah advokasi dan pendampingan bagi kelompok minoritas gender dan seksual di Bogor dan sekitarnya. Mereka kerap mengadakan pelatihan keterampilan, konseling, dan pemeriksaan kesehatan bagi anggotanya.
Tapi, stigma yang kuat membuat komunitas tempat Mahen berhimpun kesulitan menyewa rumah kontrakan. Suatu hari pada Agustus 2025, dia bersama anggota komunitas itu mencari rumah kontrakan sebagai tempat berkegiatan.
Mahen telah membayar sewa rumah kontrakan sesuai perjanjian yang disepakati dengan pemilik rumah kontrakan. Tapi, pemilik rumah tiba-tiba membatalkan dengan alasan tidak bisa menerima komunitas waria. Selain itu, dia beralasan komunitas itu mendapat penolakan dari warga sekitar. Rumah kontrakan itu berjarak tujuh kilometer dari Kota Bogor.
Suatu hari, Mahen dan teman-temannya menemukan rumah untuk disewa setelah pontang panting berusaha. Mereka terpaksa menyembunyikan identitas komunitas demi keamanan. Kepada warga sekitar, mereka memilih memperkenalkan diri sebagai sebuah jasa wedding organizer. “Kami bukan penjahat. Kami hanya ingin memiliki ruang aman untuk belajar dan saling mendukung,” ujar Mahen.
Serangan terhadap kelompok minoritas gender dan seksual juga menimpa pengurus Yayasan Pesona Bumi Pasundan atau YPBP pada 2023. Sekelompok orang yang terdiri dari polisi dan anggota organisasi masyarakat membubarkan acara pemberian penghargaan terhadap pusat kesehatan masyarakat di Bogor yang ramah terhadap kelompok rentan.
Selain itu, yayasan yang memperjuangkan kelompok marjinal agar mendapatkan akses layanan kesehatan ini menggelar pemeriksaan kesehatan secara gratis. Di tengah acara, sekelompok orang mendatangi peserta acara dan mendesak mereka agar membubarkan diri. Orang-orang itu beralasan acara harus bubar karena meresahkan masyarakat. Mereka menuding acara itu sebagai ajang kontestasi waria.
Ketua YPBP Arif Prianto mengatakan sekelompok orang tiba-tiba merangsek masuk ke ruangan hotel yang disewa yayasan. Mulanya, YPBP menyewa lantai paling atas hotel, namun karena alasan lift rusak, mereka dipindahkan ke ruangan di lantai yang sama dengan acara pelatihan bela negara.
Saat sekelompok orang menggeruduk, Arif sempat menjelaskan bahwa acara komunitas itu bersifat sosial dan edukatif. Namun, sejumlah orang tak mau mendengarkan dan memaksa mereka bubar. Arif menyatakan kekecewaannya karena komunitas tak mendapatkan rasa aman ketika menggelar acara yang bertujuan baik. “Ada orang-orang yang merasa jadi pedangnya Tuhan. Padahal, acara kami tidak merugikan orang lain,” kata dia.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Kepolisian Resor Kota Bogor Inspektur Polisi Dua Eko Agus mengatakan polisi membubarkan kegiatan itu karena panitia tidak mengirimkan surat pemberitahuan. “Kami mendapatkan pengaduan dari masyarakat. Musyawarah pimpinan kecamatan mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan sehingga kegiatan tersebut dipercepat,” ujar Eko ketika dikonfirmasi Bogor Kita pada Rabu 26 November 2025.
Meski kerap mendapatkan serangan, YPBP tidak menyerah. Mereka terus membantu kelompok minoritas ragam gender dan seksual untuk mengakses berbagai layanan kesehatan meliputi: tes Human Immunodeficiency Virus atau HIV, Tuberkulosis atau TB, Infeksi Menular Seksual atau IMS, dan Pre-Exposure Prophylaxis atau PrEP sebagai metode pencegahan HIV, konseling, dan edukasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi.
Serangan terhadap kelompok minoritas gender juga terjadi pada Juni 2025. Sebanyak 75 orang saat itu menggelar acara di vila di Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor. Minggu dini hari pada 22 Juni 2025, tim gabungan dari Kepolisian Resor Bogor bersama Kepolisian Sektor Megamendung membubarkan acara itu dan membawa para peserta acara ke kantor Polres Bogor.
Advokat Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Tuani Sondang menjadi pendamping kelompok rentan yang ditangkap Polres Bogor. Tuani mengatakan penangkapan dan penggerebekan tersebut dilakukan tanpa dasar hukum dan bertentangan dengan prinsip‐prinsip Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP mengenai syarat penangkapan dan penggeledahan.
“Tidak ada laporan tindak pidana, tidak ada bukti permulaan yang cukup, dan tidak ada urgensi yang membenarkan tindakan represif tersebut,” kata Tuani kepada Bogor Kita, Selasa 25 November 2025.
Peristiwa itu, kata Tuani merupakan bentuk intervensi terhadap kebebasan berkumpul dan berekspresi, hak yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrumen hak asasi manusia.
“Dengan demikian, tindakan ini kami pandang sebagai penangkapan sewenang-wenang, melanggar prinsip non-diskriminasi, serta membuka preseden kriminalisasi kelompok rentan,” ujar Tuani.
Kepala Kepolisian Sektor Megamendung Ajun Komisaris Polisi Yulita tak menjawab dugaan kekerasan maupun penangkapan yang menyalahi prosedur. “Polres yang menangani,” kata AKP Yulita, Rabu 26 November 2025.
Dia meminta Bogor Kita bertanya ke petugas Polres Bogor. Bogor Kita mengirim pesan Whatsapp dan panggilan telepon ke Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Bogor, Inspektur Polisi Dua Hamzah Sofyan untuk mengkonfirmasi tuduhan itu. Tapi, Hamzah tidak merespons hingga Rabu, 26 November 2025.
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Maret 2016, September 2017, dan Desember 2017 menunjukkan bahwa pandangan publik Indonesia terhadap kelompok minoritas gender dan seksualitas – Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) masih didominasi oleh sikap negatif.
Tabel Klasifikasi Hasil Survei Terkait Sikap Publik terhadap LGBT

Temuan ini memperlihatkan meskipun publik mulai terbuka secara perlahan, namun kelompok LGBT memiliki hambatan struktural dan politik. “Intoleransi yang tinggi dan membesar muncul aspek politik. Warga cenderung menolak kelompok yang tidak disukai menjadi pemimpin politik di semua level,” kata Saidiman Ahmad kepada Bogor Kita pada Rabu, 26 November 2025.
Saidiman mengemukakan, dalam beberapa kasus, isu LGBT dijadikan alat untuk menyerang lawan politik. LGBT acapkali menjadi instrumen politik identitas. Selain itu, pemerintah daerah juga kadang mengeluarkan kebijakan diskriminatif pada kelompok minoritas seksual. Kebijakan diskriminatif itu sering muncul di daerah yang memiliki persoalan pada kebijakan publik atau untuk menutupi kinerja pemerintahan daerah yang korup.
Pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar Roy Murtadho mengecam serangan terhadap kelompok minoritas gender dan seksual. Roy merupakan tokoh Islam yang mengembangkan pesantren yang terbuka terhadap perbedaan identitas gender. Di pesantrennya dia memiliki kelas yang membahas tentang queer dan perspektif ekologi dalam Islam.

Roy Murtadho
Menurut aktivis muda Nahdlatul Ulama itu Islam memiliki prinsip rahmatan lil alamin yang berarti rahmat bagi seluruh alam atau kasih sayang bagi semesta alam. Prinsip itu menggambarkan cara umat Islam beragama yang menolak diskriminasi, termasuk terhadap minoritas gender dan seksual. “Islam itu ramah terhadap semua manusia, berkeadilan universal, dan merangkul penuh rahmat terhadap siapapun, termasuk orang dengan ragam gender,” katanya.
Pengasuh Pesantren Nanggerang At-Tasamuh Rizal Aris menyatakan hal yang sama. Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta, termasuk minoritas gender dan seksual. Dalam Islam terdapat nilai nilai kasih sayang yang diambil dari sifat-sifat Tuhan. Dia mencontohkan Allah punya sifat rahman rahim seperti halnya orang Islam menyebut bismillahirahmanirrahim. “Menyebarkan kasih sayang terhadap makhluk lain,” kata Aris.

Rizal Aris
Selain itu, dia juga menyebutkan hadis yang bicara tentang seruan agar umat Islam menyayangi makhluk di bumi agar yang ada di langit menyayangimu. Dalam Islam hal itu dikenal sebagai Irhamu man fil ardli yarhamkum man fis sama.
Alumnus S2 Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat (STIF) Sadra Jakarta yang kini berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra Jakarta itu menyatakan menciptakan ruang yang inklusif tidak berarti harus mengorbankan keyakinan.
Setiap orang bisa duduk bersama, diskusi santai, dan minum kopi bersama kelompok minoritas gender dan seksual tanpa kehilangan identitasnya. “Kalau ngopi di katedral apa lantas jadi Katolik? enggak juga kan. Sama halnya ketika berinteraksi dengan kelompok yang berbeda, itu tidak otomatis mengubah siapa kita,” kata dia.
Presidium Jaringan Gusdurian Bogor Raya itu menyatakan sebagian orang belum menyadari bahwa keterbukaan terhadap orang lain bukan berarti menandakan orang tersebut berpindah keyakinan dan kehilangan identitasnya. Dia prihatin karena masih ada orang yang berpikir ketika masuk gereja berarti orang tersebut menjadi Kristen. Sama halnya ketika berinteraksi dengan minoritas gender dan seksual. Padahal, terbuka terhadap orang lain yang berbeda keyakinan maupun identitas gender justru memperkuat kemanusiaan tanpa harus menyeragamkan keyakinan. []
Tulisan ini adalah liputan kolaborasi bertema Agama Ramah Keberagaman Gender dan Seksual, Bogor Kita dengan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

