G77 dan China Desak Pembentukan Mekanisme Khusus, Indonesia Tegaskan Prinsip Keadilan dalam Transisi Global
BOGOR-KITA.com, Belem, Brasil – Perwakilan tingkat tinggi berbagai negara anggota UNFCCC, termasuk perwakilan NGO, sektor swasta, masyarakat adat, petani, dan para observer, menghadiri Third Annual High-Level Ministerial Roundtable on Just Transition. Forum resmi di bawah UAE Just Transition Work Programme (JTWP) ini bertujuan memperkuat agenda transisi energi dan pembangunan ekonomi rendah karbon yang inklusif, berbasis hak asasi manusia, serta berkeadilan sosial.
Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari mandat Keputusan 1/CMA.4 dan 3/CMA.5, yang menekankan bahwa transisi menuju ekonomi rendah emisi harus dilakukan melalui dialog sosial yang efektif, tidak meninggalkan kelompok rentan, serta memastikan perlindungan sosial bagi pekerja dan masyarakat terdampak.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (LH/BPLH) Republik Indonesia, Hanif Faisol Nurofiq, menyampaikan bahwa para menteri dari negara maju maupun berkembang sepakat bahwa transisi berkeadilan tidak hanya berkaitan dengan sektor energi. Transisi juga harus mencakup aspek sosial-ekonomi, perlindungan tenaga kerja, ketahanan iklim, serta pembangunan yang sejalan dengan prioritas nasional masing-masing negara.
“Transisi harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat melalui perlindungan sosial, penciptaan lapangan kerja hijau, dan memastikan kelompok rentan tidak tertinggal. Negara berkembang juga menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas, dengan tetap berlandaskan prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC),” ujar Hanif Faisol, Sabtu (22/11/2025).
Hanif menjelaskan bahwa dalam forum tersebut masih terdapat perbedaan pandangan antara negara maju dan negara berkembang. Kelompok G77 & China secara eksplisit mendorong pembentukan mekanisme baru untuk mendukung implementasi transisi berkeadilan.
“Pembentukan mekanisme baru ini untuk memastikan dukungan teknis dan pendanaan yang terarah bagi implementasi Just Transition, serta menghubungkan dukungan internasional dengan kebutuhan negara berkembang, sekaligus mencegah hambatan unilateral yang dapat mengganggu pembangunan nasional,” jelasnya.
Usulan negara berkembang ini juga mendapat dukungan dari Non-Party Stakeholders, termasuk NGO, masyarakat adat, petani, dan observer, melalui tawaran kerangka Belem Mechanism Action yang dinilai sejalan dengan kebutuhan negara berkembang. Sebaliknya, negara maju mengusulkan Just Transition Action Plan, yang menurut negara berkembang belum menyediakan entitas koordinasi yang jelas serta tidak menjawab persoalan pendanaan dan dukungan teknis.
Dalam sesi tingkat tinggi tersebut, Indonesia kembali menegaskan bahwa transisi berkeadilan harus berpijak pada prinsip keadilan, CBDR-RC, inklusivitas, serta penghormatan terhadap kondisi nasional, sehingga tidak ada negara atau komunitas yang tertinggal dalam mencapai tujuan Paris Agreement.
Indonesia juga menekankan perlunya dukungan internasional yang memadai, dapat diprediksi, dan berkeadilan, terutama melalui pendanaan berbasis hibah agar tidak menambah beban utang negara berkembang.
“Indonesia juga mendukung pembentukan Just Transition Mechanism di bawah UNFCCC untuk memperkuat kerja sama, mobilisasi sumber daya, dan mencegah tindakan unilateral yang dapat menghambat transisi negara berkembang,” ungkapnya.
Dengan menegakkan prinsip keadilan, memperkuat kerja sama internasional, dan memastikan dukungan nyata bagi negara berkembang, Indonesia menilai bahwa transisi berkeadilan hanya dapat terwujud melalui mekanisme yang terstruktur, pendanaan yang memadai tanpa menambah beban utang, serta kolaborasi global yang inklusif.
“Melalui pembentukan mekanisme Just Transition dan penguatan program kerja di bawah UNFCCC, komunitas global dapat bergerak bersama menuju transisi yang inklusif, berkeadilan, dan selaras dengan tujuan Perjanjian Paris,” pungkasnya. [] Ricky
