Dosen IPB Sebut Pandemi Covid-19 Perparah Depresi, Sebabkan Tindakan Anarkis Orang Tua kepada Anak
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Kasus tindak kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua kandung korban sendiri marak terjadi selama pandemi. Misalnya saja, kasus MT (30), seorang ibu yang tega menganiaya dan menghabisi ketiga orang anak kandungnya di Nias maupun kasus KU (35), seorang ibu yang tega menganiaya dan menghabisi nyawa tiga orang anaknya sendiri dengan pisau kater, di Brebes (20/3/2022).
Dr Yulina Eva Riany, dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University menyebutkan bahwa setidaknya terdapat beberapa faktor penyebab internal dan eksternal dari seorang individu yang mendorongnya melakukan tindak anarkis tersebut.
“Penyebab pertama adalah adanya tekanan jiwa dan rasa kesepian luar biasa atau loneliness, karena kurangnya interaksi. Pelaku seringkali menganggap dirinya hidup sendiri dan tidak ada orang yang peduli terhadap dirinya dan kesulitan yang dihadapinya,” ujar Dr Yulina.
Dr Yulina juga menyampaikan bahwa hal tersebut dapat diperparah dengan kondisi pandemi yang membatasi interaksi antar individu. Sehingga, upaya mengakhiri hidupnya termasuk anak-anaknya merupakan jawaban. Kasus KU (35), merupakan bukti ketidakmampuannya dalam mengendalikan rasa ingin diperhatikan dan diapresiasi oleh sang suami yang dianggapnya sudah tidak peduli terhadapnya.
Kedua, imbuhnya, adanya perasaan bahwa kehadiran anak merupakan sumber masalah bagi keluarga. Sehingga, upaya mengakhiri nyawa sering dipilih dengan anggapan bahwa kematian anak dapat meringankan beban keluarga. Alasan ini seringkali ditemukan pada individu yang tidak sanggup dalam menghadapi kesulitan hidup kemudian mengambil langkah pendek melalui tindak anarki.
“Ketiga, ialah ketidaksanggupan untuk menyaksikan anak-anak menghadapi kesakitan dan kesusahan. Pengalaman menyakitkan sepanjang hidup dapat memicu matinya rasa takut akan rasa sakit dan kematian. Sehingga pelaku menganggap bahwa dengan kematian, anak-anak dapat terhindarkan dari kesakitan dan kesusahan di kemudian hari,” lanjut Dr Yulina.
Keempat, lanjutnya, kondisi sosial-ekonomi keluarga, interaksi sosial dan kontrol sosial masyarakat dinilai sebagai faktor eksternal. Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah. Hal ini terjadi karena tekanan sosial-ekonomi (terlilit hutang, rendahnya kemampuan ekonomi dan lain-lain) menjadi penyebab tingginya tingkat stress pada orang tua yang memicu amarah.
“Kelima, penelitian juga menunjukkan adanya keterkaitan yang signifikan antara tekanan ekonomi dengan tingkat depresi orang tua selama pandemi COVID-19. Tekanan ekonomi, dalam banyak kasus, menyebabkan risiko stres, kecemasan, insomnia dan konflik antara anggota keluarga. Hal ini meningkatkan angka kekerasan dalam keluarga, bunuh diri, penganiayaan bahkan pembunuhan anak,” jelasnya.
Keenam, katanya, adanya kebiasaan memberlakukan hukuman fisik dalam keluarga. Sebagian masyarakat masih menerima, meyakini serta menerapkan hukuman fisik sebagai metode ampuh dalam membentuk karakter baik pada anak.
“Padahal hal tersebut tidak hanya dapat membahayakan fisik anak, namun juga dapat menyisakan trauma berkepanjangan dan mengganggu perkembangan anak,” kata Ketua Divisi Penelitian Pusat Pengembangan Sumber Daya manusia (P2SDM), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University ini.
Sementara itu, imbuhnya, kebiasaan untuk mendisiplinkan anak dengan memukul, mencubit, menendang ataupun aksi fisik lainnya, dapat mengakibatkan orang tua mudah terlarut dalam luapan emosi. Sehingga tanpa disadari, secara tidak sengaja tega melakukan tindakan anarki selama kebutuhan untuk memuaskan amarahnya terpenuhi. Sehingga mendorong kepada kekhilafan dan tidak mengindahkan aturan sosial mengenai asas kepatutan perilaku dalam masyarakat. [] Hari